Halo, selamat datang di blog aku ya, dan selamat membaca ceritaku yang berjudul GIRL IN THE DARK pada BAB 38.
Story Begin*
________________________________________
“Ayah,”
“Ayah,”
Alina sudah meyakinkan diri untuk mengatakan banyak hal dalam pesan suara, tetapi yang keluar hanyalah kata-kata singkat. Dia kesal pada Alex, namun rasa cinta seorang anak tidak pernah hilang. Salah satu tujuannya kembali ke tenah kelahiran adalah untuk menemui pria itu, dan meminta maaf karena tidak pernah mengunjungi. Keinginan tersebut tidak tersampaikan hingga kini, dan malah membuat ayahnya membenci.
“Jaga diri baik-baik,” dia membeku dalam satu menit sebelum mematikan sambungan.
Apakah pilihannya benar?
Pertanyaan itu terus berputar diatas kepalanya seperti kereta di area permainan, bergerak dan menimbulkan keberisikan, mengacaukan pikiran.
Alina mengawasi orang-orang berbeda kulit didepannya saat ini, dia sekarang berada di kursi Bandar udara dengan kopor besar dan niat yang kecil. Ditengah keramaian, Alina merasa sepi dan tidak diinginkan. Atau lebih tepatnya, kehadirannya memang tidak sepenting Fania.
Orang-orang berlalu lalang, beberapa saling berpelukan untuk mengobati rasa rindu yang akan datang, bersama kekasih, teman atau keluarga. Calon penumpang tersenyum riang, namun yang akan ditinggalkan memperlihatkan raut kesedihan. Ada tangis namun ada juga kebahagiaan, hanya Alina yang duduk sendirian, bahkan bangku disegala sisinya hampa dan berdebu, orang asing pun tidak ingin menemaninya.
Kadang-kadang, mata Alina menyisir seluruh tempat, refleks mencari keberadaan seseorang, entah siapa, setidaknya ada manusia yang akan merindukannya jikalau dia terbang. Namun nihil, dia tertawa miris tentang betapa ingginnya dia dibutuhkan.
Alina menatap jari-jari kakinya yang kecil, ketika pengeras suara memberitahu penerbangan akan segera dilakukan, dia bangkit dari duduk, meninggalkan hawa panas dikursi, dan mengsugesti diri sendiri. Meraup lantai sambil mengeratkan pegangannya pada gagang kopor, dan kegoyahan hatinya menghentikan langkahnya, dia menoleh kebelakang lalu berbalik arah, namun high hils nya patah sehingga membuat dirinya terjatuh. Banyak sekali yang menyaksikan kejadian itu tetapi tidak ada satupun yang berniat menolong.
Alina masih berada diposisi yang sama, apa yang menganggu pikiranmu? Apakah kau ingin kembali pada mereka? Kenapa kau memutar arah? Dia bertanya kasar dalam kesadarannya.
Tidak ada yang mencintaimu! Mereka akan melukaimu! Realisme menabrak Alina, dia langsung menangis didepan khalayak ramai, air mata yang ditahannya kini keluar tanpa jeda. Dia terisak-isak seraya meremas dadanya, semua insane memperhatikan tetapi Alina segera berteriak, “aku terjatuh, dan sepatuku rusak! Ini sangat mahal, sungguh membuatku terluka!” tangisannya bertambah kencang, dia memukul dadanya untuk mengaburkan rasa sesak. Dia terluka, tetapi ingin semua orang mengira kalau tangisannya hanyalah karena sepatu.
“Gadis gila,” batin setiap orang.
Beberapa menit kemudian, dia termangu, tenggorokannya sakit dan netranya pusing karena boros dalam mengeluarkan air mata. Bibirnya begetar dan suaranya tercekat, sampai saat ini masih masih belum ada manusia yang membantunya berdiri. sehingga dia berinisiatif bangun sendiri diantara orang-orang yang telah hilang simpati. Menangis seperti ini malah tidak membuatnya lega hati.
Belakang lututnya kaku dan sakit, tetapi dipaksakan tegak, Alina mengambil langkah lagi, sekarang dia sudah memantapkan hati untuk tidak menoleh kebelakang lagi. Dia berjalan, membayangkan menapaki kaki menuju ruang operasi, dagunya terangkat tinggi, dan ketika sampai depan pintu pesawat dia melihat salah satu pramugari yang sibuk mengambil tiket, dia berimajinasi kalau pesawat itu adalah tempat dimana dia melakukan proses pembedahan pada pasien-pasiennya, dan pramugari tersebut adalah asistennya dalam menangani operasi.
Alina menyerahkan tiket lalu masuk setelah menaruh barang-barangnya pada mesin jalan, dia mencari nomor kursi dan mendudukinya setelah dapat, karena dia membeli tiket kelas umum, jadi disini terasa pengap dan muncul aroma berbeda-beda. Alina berusaha memejamkan mata, dia ingin menikmati kepergiannya. Sedangkan disebelahnya, terdapat pria paruh baya yang sibuk membaca Koran, kakek itu tidak melirik Alina sedikitpun.
Pilot mulai mengendalikan sambil berbicara yang hanya dia dan orang dibalik earphone yang memahaminya, perlahan tapi pasti, pesawat mulai lepas landas setelah para pramugari melakukan pengecekan dan pengarahan demi keselamatan penumpang, dan Alina mengikuti prosedur mereka.
Pesawat pun terbang dari rendah menjadi tinggi, dan melambung lebih tinggi lagi sampai bumi hanya memperlihatkan warna biru dan hijau. Bagi orang yang baru pertamakali mengalami lepas landas seperti ini, pasti sangat keakutan, Alina sendiri sudah terbiasa dengan tahapan tersebut, dia menyukai getaran semacam itu. Kebetulan Alina mendapat kursi didekat jendela, jadi dia mampu menyaksikan ketakjuban planet biru. Dia juga senang menonton kapas-kapas putih berterbangan yang mengahasilkan turbulensi yang mengejutkan hati.
Meninggalkan Nick, Will, Alex, Miah dan lainnya, Alina ingin terhindar dari kegusaran itu, dia ingin beristirahat damai, setenang langit tanpa kicauan.
Dalam sekejap, dia terhanyut dalam mimpi, melayang-layang disebuah tempat yang sulit Alina jelaskan. Dia melihat semua orang berseru senang, mereka merayakan sesuatu yang tidak dapat Alina pahami. Mereka memainkan music, bernyanyi serta menari. Bersama mereka, Alina melupakan segalanya. Will Whitson, Nick Whitson, Nyonya Markiee, Fania Whitson, Mike Angello, Firz De Vincent, Maria Stinly, dan Sarah Amberilla terasa kabur dalam ingatannya. Jadi apa? Tidak ada yang mengenal dan mencintainya disini, tetapi semua orang bergembira ria tanpa harus tahu nama. Saat merasakan pancaran kesenangan dari mereka, Alina sadar bahwa dia tidak memerlukan cinta dari Will Whitson, Nick Whitson atau Alexander. Dia akan menetap disini dengan orang asing yang mustahil memberinya luka.
Dia memutuskan untuk tidak bangun dari bunga tidur ini.
Bukan hanya di dunia nyata, bahkan dalam mimpi Alina sekalipun, kebahagiaan diciptakan hanya untuk sementara. Sistem penderangannya kini tidak mendeteksi ritme music, suara penyanyi dan ketukan menari. Gelap, waktu terasa lambat, satu detik seperti satu menit, satu menit seperti satu jam, dan seterusnya. Kesenangan yang baru saja dia rasakan, lenyap bahkan tidak meninggalkan ampas. Kesunyian disekitarnya membuat Alina mengalami kelumpuhan bersuara maupun bernafas, dia perlu beberapa menit untuk membuka mata.
Alina menyaksikan diantara kerasnya kukungan seat belt, bagaimana orang-orang mulai panic dan beberapa lepas dari kursinya. Mereka menjerit ketakutan, semua orang bergerak sesuai arah pesawat yang meluncur kebawah, saling berpegangan, Koran berterbangan, selendang dan topi melayang-layang, masih banyak peralatan penumpang yang diperboleh masuk bertebaran. Setiap kaca telah retak dan pecah, beberapa serpihan tajam menusuk wajah orang-orang termasuk Alina sendiri. Dia mengalihkan pandangan dan melihat kakek tua disampingnya tertidur pulas, seperti tidak terganggu pada situasi berbahaya saat ini. pria itu sangat tenang dan nyenyak, mungkin karena dia telah melalui banyak hal dan bosan didunia ini, akhirnya mengikuti garis takdir yang Tuhan berikan.
Alina melihat sisi lainnya, retinanya menangkap langit yang murung, angin bersatu dengan eleman lain untuk menghancur setiap bagian pesawat, mereka akan mati oleh kecepatan gravitasi yang memicu adrenalin sampai pada batasnya, jantung mereka berdegup dan beberapa pasrah, mulai masuk kepelukan Tuhan.
Alina menutup kelopaknya, bulu matanya bergetar, dia menangis tetapi air mata sangat cepat mengering pada kondisi ini.
Dia telah mengetahui bahwa malaikat kematian disampingnya kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menunggu roh nya terbang. Setelah menarik tambang dari kaki jurang untuk bertahan hidup, sampai telapak tangannya kasar dan berdarah karena kerasnya memegang tali, kematian tetap menghampiri.
Badan pesawat yang ringsek beberapa menit lagi akan jatuh dan menyentuh perairan bumi, berkolaborasi dengan makhluk laut dan terumbuk karang yang menyimpang banyak kehidupan hewan-hewan lunak dan beringsang.
Dimenit-menit itu, pusat tubuh Alina mengingat hal-hal yang telah dilaluinya, kematian Sandra, cita-citanya, pekerjaannya, kematian Fania, rasa cintanya pada dua pria sekaligus, yaitu Nick dan Will Whitson, menghadapi pembunuh gila dan berakhir dengan kematiannya. Semua menyerbu otak kanan, kiri, belakang, dan depannya dengan masing-masing pelajaran yang berbeda. Namun sekarang dia akan kembali pada Sang Maha Kuasa, apa yang bisa diambil dari kisahnya ketika masa pengadilan di akhirat nanti akan terlaksana, semua tentu sia-sia.
Mungkin tidak ada yang benar-benar mencintainya,
Mungkin kematiannya tidak berarti apa-apa,
Dan Will Whitson tidak akan memperdulikannya bahkan saat melihat mayatnya.
Alexander pasti lega dengan kematian anak durhakanya, karena pria itu hanya mencintai Fania.
Dia tahu, semua akan berakhir detik selanjutnya, namun kasih sayangnya pada Will Whitson dan Nick Whitson tidak pernah berakhir. Sepanjang hidupnya, dia mencari sosok laki-laki untuk mencurahkan rasa cinta, dan sekarang dia mendapatkannya, tetapi tidak untuk bersama.
Alina berteriak dengan tangis percuma diposisi yang tidak berubah, dia hancur bersama dengan puing-puing pesawat.
Dan tenggelam.
Air biru mengelilingi tubuhnya, semua orang berusaha berenang keluar, pramugari yang diberi kesadaran berusaha membuka pintu sampai membuahkan hasil, Alina menyaksikannya tetapi tidak berencana membuka seat belt.
Meskipun hidup dan mati, tidak akan ada yang perduli.
Jadi dia memilih berdiam diri, air semakin menyumbat lubang-lubang dalam tubuhnya, mata Alina memerah, tak mampu melawan kekuatan air yang marah.
Dia terlalu lelah.
Dan menyerah
Tanpa tersenyum gundah.
Dia akan bercerita pada Tuhan, tentang cintanya yang masih basah.
Dia merasakan segalanya menghitam dan hampa, tetapi hatinya berucap yakin.
"Aku mencintaimu," dan kegelapan menjadi saksi perasaannya yang telah tersembunyi.
Ketika mencintaimu, hanya dapat kuutarakan dalam gelap,
Dan dengan kematian.
“Aku berjalan sangat jauh, hingga kaki ku melepuh.
Ku menoleh kebelakang, banyak sekali paku,
Baru kusadari telapak kakiku memiliki banyak luka baru
Aku ingin berhenti, namun bekas luka ini tidak berarti apapun jika aku mati
Maka aku berlari lagi
Tanpa mengetahui,
Tujuanku berlari, untuk mati.”
TO BE CONTINUED